BAB 1
PERGESERAN PARADIGMA PENDIDIKAN
Secara alami, perubahan selalu terjadi pada setiap sistem akibat pengaruh faktor internal maupun faktor eksternal. Dalam kajian-kajian ilmu sosial perubahan merupakan faktor yang sangat menonjol dan menjadi ukuran dinamika sistem sosial itu sendiri. Melalui perubahan terjadilah pergeseran, penambahan, pengurangan, penggantian, dan pengembangan yang selanjutnya dapat membentuk sistem sosial yang baru.
Hal tersebut terjadi pula dalam sistem pendidikan. Perubahan sistem pendidikan terjadi akibat adanya pergeseran paradigma yang dilandasi oleh adanya perubahan filsafat yang menjadi acuan. Gejala ini tergambar dari pergeseran paradigma pendidikan modern yang dilandasi oleh filsafat yang berkembang pada masa itu ke arah paradigma post modern. Pergeseran paradigma ini terjadi akibat dari adanya koreksi, perubahan, dan kajian-kajian baru yang banyak memengaruhi perkembangan konsep dan praksis pada sistem pendidikan.
Filsafat sebagai landasan paradigma pada hakikatnya berbicara tentang hakikat manusia, mau ke mana arah kehidupan manusia, dan dalam kaitannya dengan pendidikan mempertanyakan hakikat pendidikan itu sendiri, apa yang akan dicapai melalui pendidikan dan bagaimana terjadinya proses pendidikan. Implikasi dari filsafat melahirkan berbagai konsep teori yang merupakan pengejawantahan dari pola pikir, dan praksis dalam kondisi yang nyata.
Bab ini akan mengungkap makna paradigma, pergeseran pemikiran filsafat yang memengaruhi paradigma pada pendidikan, dan faktor-faktor yang memengaruhi perubahan paradigma dalam pendidikan. Namun demikian, kajian bab ini tidak membahas filsafat secara utuh dan mendalam, akan tetapi diarahkan untuk mengungkap pergeseran paradigma sesuai dengan perubahan filsafat yang terjadi pada pendidikan, terutama sampai lahirnya teknologi pendidikan. Oleh karena itu, setelah mempelajari bab ini perlu dilanjutkan dengan pengkajian atas literatur yang relevan dan lebih mendalam.
A. Pengertian Paradigma
Secara etimologis kata paradigma berasal dari bahasa Yunani “paradeigma” yang berarti pattern (pola) atau example (contoh), dan dari kata “paradeiknunai” yang berarti “demonstrate” atau mempertunjukkan, mempertontonkan. Sejalan dengan arti kata tersebut Oxford English Dictionary mendefinisikan paradigm as “A Pattern or model, an exemplar”. Istilah paradigma adakalanya dimaknai dengan kerangka berpikir dalam menggambarkan struktur kajian dalam konteks permasalahan tertentu. Istilah ini populer pada pertengahan abad 20 yang difahami sebagai teknik atau bentuk dalam menyatakan sesuatu asumsi, konsep dan dasar proposisi dalam menganalisis sesuatu objek tertentu. Kuntowijoyo (1998: 327) mengungkapkan bahwa paradigma adalah sebuah cara dalam merumuskan kerangka teori yang dibangun berdasarkan mode of thought atau mode of inquiry agar menghasilkan mode of knowing. Dari adanya paradigma ini melahirkan adanya kejelasan konsep, mekanisme penyelesaian, dan produk berpikir yang akan dihasilkan. Sejalan dengan hal tersebut, Immanuel Kant menyebutnya dengan istilah Skema konseptual.
Ahli yang banyak memberikan kontribusi terhadap pemaknaan istilah paradigma di antaranya Thomas Kuhn dalam bukunya yang terkenal The Structure of Scientific Revolution (1970). Dalam postscript buku tersebut, ia menyebutkan ada sekitar 22 definisi paradigma dalam ungkapan yang berbeda. Dalam ungkapannya, paradigma adalah pencapaian-pencapaian (achievements) yang memiliki dua karakteristik, yaitu 1) pencapaian yang belum ada sebelumnya, dan 2) bersifat luas (open-ended) yang meninggalkan sejumlah permasalahan untuk dipecahkan. Pada bagian lain ia menyebutkan bahwa paradigma “... like an accepted judicial decision in the common law, it is an object for further articulation and specification under new or more stringent conditions.” Sedangkan pada postscript-nya disebutkan “a paradigm is what the members of a scientific community share, and, conversely, a scientific community consists of men who share a paradigm.” (suatu paradigma adalah apa yang dibagi/dimiliki bersama oleh suatu masyarakat ilmiah, dan sebaliknya, suatu masyarakat ilmiah menyumbang terhadap suatu paradigma). Maksud istilah “yang dimiliki bersama” adalah pengetahuan/keyakinan yang menjadi pegangan suatu masyarakat ilmiah dalam mengerjakan/melaksanakan aktivitas ilmiahnya.
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa paradigma adalah suatu keyakinan dari sekelompok masyarakat ilmiah yang diperoleh melalui pencapaian-pencapaian kajian secara berkesinambungan atau sebagai hasil refleksi yang belum ada sebelumnya dan bersifat luas, serta memerlukan artikulasi dan spesifikasi lebih lanjut. Keyakinan tersebut menjadi pegangan mereka dalam memecahkan berbagai persoalan ilmiah. Secara umum, setidaknya terdapat lima manfaat dari paradigma, yaitu: 1) menciptakan arus inkuiri; 2) merumuskan pertanyaan, 3) memilih metode untuk menguji pertanyaan-pertanyaan;4) menentukan bidang-bidang yang relevan; dan 5) membangun makna.
Pergeseran paradigma pada masyarakat ilmiah diakibatkan oleh penemuan sejumlah anomali pada saat melakukan inkuiri berkenaan dengan suatu bidang kajian. Kondisi ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap paradigma yang selama itu dianutnya. Alur kerja dalam membangun paradigma tersebut dapat dilihat bagan berikut ini:
Gambar 1.1 Pergeseran Paradigma (Disarikan dari Kuhn, 1970)
Ketika muncul krisis kepercayaan terhadap suatu paradigma yang ada, maka terdapat tiga kemungkinan. Pertama, mempertahankan paradigma yang dianut, hal ini akibat dari sains atau pengetahuan masih dapat mengatasi berbagai persoalan. Kedua, mencari paradigma baru, bila mana sains belum mampu menjawab persoalan dan belum ada alat untuk membuktikannya. Untuk kemungkinan kedua ini dapat mengarah pada mempertahankan paradigma yang ada atau mengarah pada pemunculan praparadigma baru. Ketiga, pergeseran paradigma, hal ini akibat dari krisis yang ada langsung memunculkan satu atau lebih praparadigma. Praparadigma tersebut setelah melalui pengkajian dan seleksi akan terlahir menjadi paradigma baru. Kemunculan paradigma baru ini tentu saja menjadi pesaing dari paradigma sebelumnya mana kala paradigma tersebut semakin lama semakin diterima oleh masyarakat ilmiah.
Lahirnya suatu paradigma tidak secara langsung terwujud dalam sebuah pola pemikiran yang sistematis, akan tetapi dibentuk melalui frekuensi dan kedalaman suatu kajian atau perdebatan di lingkungan masyarakat ilmiah. Oleh karena itu kematangan suatu paradigma, baik dari segi substansi maupun cakupan serta mekanisme dalam menggambarkan alur berpikir konseptualnya dapat dilihat dari sejauh mana kedalaman pengkajian dalam melahirkan paradigma itu sendiri.
B. Pergeseran Paradigma dalam Pendidikan
Terdapat sejumlah pencapaian (achievements) dalam filsafat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial budaya yang mendorong terjadinya pergeseran paradigma dalam pendidikan. Di samping secara internal, terjadi pengembangan konsep teori pendidikan yang dihasilkan dari penemuan dan inovasi, baik sebagai turunan konsep filsafat, pengujian dan penemuan konsep-konsep baru, maupun hasil modifikasi dari konsep-konsep pendidikan yang sudah digunakan. Didasarkan atas kondisi yang ada, adakalanya praktik pendidikan berjalan tidak bersifat linier, akibat dari keanekaragaman situasi dan kondisi yang memengaruhinya, seperti tuntutan kebutuhan peserta didik maupun berbagai faktor yang memiliki keterkaitan dengan praktik pendidikan. Pada awalnya, kedudukan guru diakui sebagai satu-satunya sumber informasi kemudian terjadinya pergeseran pemahaman menjadi memiliki kedudukan yang sama dengan sumber-sumber informasi lain. Bahkan pada perkembangan selanjutnya sumber-sumber informasi tersebut dapat memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik secara khusus dan mandiri. Pemahaman seperti ini mendorong lahirnya pengakuan bahwa terdapat banyak sumber informasi di sekeliling peserta didik dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengalaman belajarnya. Perkembangan pemahaman ini sejalan pula dengan pengakuan atas klasifikasi sumber belajar yang terdiri atas human resources and non-human resources, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan wawasan dan pengalaman belajar peserta didik.
Secara historik pergeseran paradigma yang memiliki keterkaitan dengan perubahan acuan filsafat tergambar dari perubahan yang terjadi pada abad pertengahan ke arah masa pendidikan modern dan postmodern. Perubahan ke arah pendidikan modern tidak terlepas dari munculnya masa “renaissance” atau “enlightenment” yang diawali dengan perubahan secara revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat. Dipahami bahwa masa ini di Barat terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berpikir dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang mengungkung kebebasan dalam mengemukakan kebenaran secara filsafat dan ilmu pengetahuan. Mulai masa renaissance kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan pembuktian secara ilmiah dengan dibuktikan melalui metode, dan konsep yang dapat diverifikasi kebenarannya, sehingga kebenaran bersifat nisbi dan dapat digugurkan manakala dihasilkan kajian-kajian yang lebih meyakinkan kebenarannya. Kondisi ini mengarahkan pada pemahaman bahwa pergeseran paradigma dari periode filsafat abad pertengahan ke arah zaman modern banyak ditandai oleh pengagungan otoritas kemampuan akal manusia.
Perkembangan pola berpikir pada zaman modern menghasilkan persoalan pada epistimologi atau metode pemikiran ilmiah yang mengarah pada pertanyaan-pertanyaan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, apa yang dimaksud dengan kebenaran, dan sarana apa untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran itu sendiri. Dalam filsafat abad 17 terdapat dua aliran filsafat yang sangat kontras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu filsafat rasionalisme dan empirisme.
Sesuai dengan namanya, filsafat rasionalisme banyak mengandalkan kemampuan akal (rasio) dalam menetapkan sumber pengetahuan. Pengetahuan yang bersumber pada akal yang memenuhi persyaratan sesuai dengan tuntutan umum dan bersifat mutlak. Sedangkan pengalaman hanya dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang diperoleh oleh akal. Metode yang banyak digunakan oleh para filsuf yang beraliran rasionalisme ini adalah metode deduktif sebagai cara penjabaran secara logis. Paradigma berpikir dari pemahaman filsafat ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang ada adalah bersifat a priori yang mendasarkan pada pengetahuan yang terdahulu, sehingga seakan-akan mengetahui secara pasti gejala yang ada walaupun belum mempunyai pengalaman secara indrawi.
Lahirnya filsafat realisme empirik sangat berseberangan dengan para ahli filsafat rasionalisme. Filsafat realisme tidak sejalan dengan pemikiran yang didasarkan atas a priori, menurutnya pengetahuan itu tersusun dari sesuatu yang telah terjadi sehingga metode yang digunakannya adalah metode a post-teriori. Didasarkan atas pemikirannya bahwa sumber pengetahuan adalah pengamatan yang dapat menghasilkan kesan (impression), dan pengertian (idea). Oleh karena itu, kemapanan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan banyak bergantung pada verifikasi data faktual. Dampak terhadap lembaga-lembaga pendidikan adalah perlunya mengajarkan dasar-dasar fakta kepada peserta didik sehingga mereka dapat memperoleh sejumlah pengetahuan. Metode yang harus dikembangkan menurut aliran filsafat ini adalah metode inquiry yang cermat dan hati-hati terhadap gejala yang terdapat dalam objek yang menjadi kajiannya.
Usaha menjembatani dan menggabungkan kedua aliran filsafat di atas dilakukan Immanual Kant (1724 – 1804) melalui pemikirannya. Kant berpendapat bahwa pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama di antara dua komponen, yaitu berupa hasil-hasil dari pengalaman indrawi dan cara mengolah kesan-kesan yang diperolehnya melalui pengolahan rasio, sehingga diperoleh pengetahuan yang komprehensif dan merupakan sebab akibat dari keduanya. Dengan adanya usaha mengeliminir salah satu dari hasil rasio dan pengalaman maka pengetahuan yang diperoleh tidak memiliki kebenaran yang universal dan memberikan informasi yang utuh. Pengetahuan rasional dengan analisis a priori memiliki karakteristik universal akan tetapi tidak dapat memberikan informasi baru, sedangkan pengetahuan empiris yang menggunakan sintesis a postteriori dapat memberikan informasi baru akan tetapi kebenarannya tidak universal. Untuk itu, ia menyebutkan bahwa pengetahuan itu seharusnya sinthesis-a priori, yaitu pengetahuan yang bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a priori dan a posteriori, dan dalam kondisi yang serentak akal dan pengalaman indrawi mengkaji objek-objek pengetahuan itu sendiri.
Pada abad ke-19 terdapat pengulangan dan penguatan filsafat rasionalisme abad ke-17 yang merupakan pengaruh pula dari adanya filsafat kritisme Immanual Kant dengan menyebutnya sebagai filsafat idealisme. Pemahaman filsafat idealisme menyatakan bahwa pendidikan pada hakikatnya tidak hanya menekankan pada pengembangan akal pikiran saja, akan tetapi juga perlu mendorong peserta didik untuk memfokuskan belajarnya pada hal-hal yang mengandung nilai-nilai tertentu. Salah satu yang menjadi perhatian dari filsafat idealisme adalah berkaitan dengan mencari kebenaran. Peserta didik perlu didorong untuk memperkaya diri melalui pengamatan tentang pemaknaan dari dunia nyata dan bukan hanya didasarkan atas persepsi nyata dari hasil pengamatan indrawi. Oleh karena itu, pengetahuan bersifat subjektif karena perolehan pengetahuan banyak dipengaruhi oleh kualitas mental dan spiritual seseorang. Pemahaman ini mengarahkan pada pengakuan adanya konsep pendidikan individual yang memanfaatkan kondisi peserta didik yang masih memiliki keterbatasan, sehingga pendidik sangat diperlukan untuk membimbingnya dalam pengembangan peserta didik sesuai dengan kapasitasnya secara ideal. Menurut pemahaman filsafat ini bahwa metode dialektis merupakan metode yang terpilih untuk memunculkan sikap kritis pada diri peserta didik. Plato dalam bukunya Republika mengungkapkan secara esensial bahwa dalam metode dialektis terdapat suatu proses untuk mempertentangkan setiap ide secara substansial, kemudian disintesiskan yang pada akhirnya akan melahirkan konsep universal.
Paradigma lain dikembangkan Auguste Comte (1798-1857) yang dikemas dalam pemikiran filsafat positivisme Comte atau disebut juga faham empirisme-kritis. Menurutnya bahwa pengamatan dengan teori belajar berjalan seiring, tidak mungkin pengamatan dilakukan tanpa adanya penafsiran yang dilandasi teori, dan tidak mungkin pula pengamatan dilakukan secara terisolasi dari teori. Semboyan yang terkenal dari Comte adalah savoir pour previor (memperoleh pengetahuan untuk melahirkan tindakan) dalam makna bahwa manusia perlu memperoleh informasi dari gejala-gejala yang ada serta hubungan di antara gejala-gejala tersebut agar ia dapat mengantisipasi kecendrungan apa yang akan terjadi sehingga memudahkan untuk menetapkan solusi untuk mengatasinya. Dengan berbekal keahliannya di bidang sosiologi maka ia memandang bahwa pendidikan merupakan salah satu aktivitas sosial, bahkan pendidikan merupakan proses untuk menyadarkan setiap individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan individu lain dan masyarakat di dalam rangka membentuk satu komunitas. Proses dinamika pembentukan komunitas ini disebutnya dengan hukum evolusi.
Memasuki abad ke-20 ditandai oleh lahirnya berbagai aliran filsafat yang merupakan lanjutan kajian dari aliran-aliran filsafat yang berkembang pada abad modern, di samping adanya aliran filsafat baru yang memiliki paradigma yang berbeda dengan aliran filsafat pada masa sebelumnya seperti: fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme, dan aliran post-modernisme.
Fenomologi yang dikembangkan Edmund Husserl (1859-1938) memiliki paradigma bahwa kajian ilmu didasarkan pada apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri secara fenomologis. Realitas yang tampak merupakan gejala yang tidak memisahkan antara subjek dengan realitas di samping realitas itu sendiri yang tampak bagi subjek. Hampir sejalan dengan fenomologi, eksistensialisme pun menunjukkan pemberontakan terhadap paradigma yang berkembang pada filsafat Barat. Tokoh aliran filsafat ini adalah Jean Paul Sartre (1950-1980) yang menekankan adanya perbedaan antara rasio dialektis dengan rasio analisis. Ali Maksum dan Luluk (2004: 58) yang mengangkat pemahaman Titus menyatakan bahwa aliran filsafat eksistensialisme ini memiliki beberapa pemahaman berfikir yang ditunjukkan oleh adanya karakteristik seperti: Pertama, aliran filsafat eksistensialisme merupakan kritik terhadap filsafat rasionalisme dan masyarakat modern; Kedua, merupakan kritik terhadap konsep-konsep, filsafat akademis, yang tidak didasarkan atas kondisi yang nyata; Ketiga, merupakan kritik terhadap kondisi kehidupan yang tanpa kepribadian, masyarakat industri modern dan pengaruh teknologi yang menciptakan kondisi tunduknya manusia pada mesin; Keempat, merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, seperti fasis dan komunis yang cenderung banyak menghancurkan individu di dalam kehidupan bersama di masyarakat; Kelima, banyak memberikan perhatian pada kondisi dan kecenderungan kehidupan manusia di atas dunia; dan Keenam, memiliki fokus terhadap keunikan dan eksistensi, pengalaman kehidupan manusia secara lebih mendalam.
Aliran filsafat eksistensialisme ini mendapat kritikan dari filsafat strukturalisme yang memandang bahwa pada kenyataannya manusia itu terkungkung oleh berbagai struktur di dalam kehidupannya, tidak bersifat otonom dan selalu tunduk kepada kondisi sistem. Tokoh yang memiliki pengaruh pemikiran yang sangat kuat pada aliran filsafat ini adalah Michel Foucault (1926-1984). Aliran filsafat strukturalisme memiliki dua pemahaman, yaitu: Pertama, aliran ini merupakan metodologi untuk mengkaji ilmu-ilmu kemasyarakatan; Kedua, aliran ini memiliki fokus terhadap pemahaman berbagai macam aspek yang berkaitan dengan manusia dan masyarakat serta hubungannya dengan faktor lingkungan. Aliran filsafat yang berkembang pada abad ke-20 dan banyak pengaruhnya terhadap kehidupan praktis adalah aliran filsafat pragmatisme, salah satu tokohnya adalah William James (1842-1910) yang memiliki konsep berpikir filsafat sebagai kelanjutan dari filsafat empirisme Inggris. Titik perbedaannya adalah dalam penetapan kenyataan yang tidak hanya didasarkan atas fakta-fakta empiris saja, tetapi perlu adanya verifikasi praktis berdasarkan kajian analisis pemikiran, yang kemudian kebenaran dapat menjadi nyata. Oleh karena itu, aliran filsafat ini memiliki kriteria penetapan kebenaran yang berfokus pada pemanfaatan akibat-akibat praktis dari pemikiran dan kepercayaan.
Di pengujung abad ke-20 berkembang pemikiran postmodernisme yang merambah ke dalam berbagai aspek berpikir dalam kehidupan. Pada awalnya, pemikiran ini merupakan reaksi terhadap berbagai kelemahan dari pola berpikir modern akan tetapi terus bergulir sehingga seakan-akan melahirkan satu bentuk paradigma. Kalaulah pada pemikiran modern kecendrungan pemahaman bersifat mekanistik deterministik, yang menggambarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini terikat oleh hukum-hukum alam yang dapat dirumuskan dan direduksi dalam hitungan matematis. Misalnya, peristiwa jatuhnya apel dari pohon ke tanah itu bisa dijelaskan melalui persamaan matematika yang disebut hukum gravitasi. Dalam dunia pendidikan pengaruh pemikiran modernisme ini dapat terlihat dalam meneorikan kurikulum yang dipandang sebagai sesuatu yang pasti, memiliki hipotesa yang sistematik, dan hipotesis diverifikasi untuk memperoleh informasi tentang kesahihannya.
Kubu pemikiran post-modernisme beranggapan bahwa dunia memiliki sifat emergent ‘muncul’, cair, semrawut, terbuka, dan interaktif. Post-modernisme pada pokoknya menolak untuk menerima suatu representasi dunia yang bersatu. Menurut pemahamannya realitas bukanlah merupakan hubungan-hubungan yang mapan, melainkan pecahan-pecahan yang berubah terus-menerus. Dalam dunia pendidikan, post-modernisme terpusat pada pluralisme dengan menekankan campuran genre ‘teks’, penciptaan subjek ajar hibrida/kawinan, menerima adanya keanekaragaman tujuan pendidikan, dan menyambut keragaman peserta didik. Tokoh post-modernis di antaranya adalah William Doll, Patrick Slattery, dan Michael Peters (Ornstein dan Hunkins, 1998: 188). Yeaman dalam (Jonassen, 1996: 263) berpendapat bahwa post-modernisme mampu memberikan suatu dukungan dan fondasi teoretik untuk (1) pola pikir non-linear, (2) multivokalitas dan paradigma penelitian alternatif, (3) pendekatan estetis/kritis pada ilmu pengetahuan, (4) bacaan-bacaan yang lekat dan dekonstruktif untuk memberikan analisis yang cermat dan mendalam terhadap peran teknologi informasi, (5) hubungan intertekstual, (6) strategi-strategi yang tidak memusat membantu para peneliti untuk tidak terfokus pada pertanyaan-pertanyaan tradisional dan memfokuskannya kembali pada cara-cara yang baru dan jelas, (7) suatu hubungan yang lebih erat antara sains dan seni, serta antara mode fiksional dan nonfiksional dari analisis dan presentasi.
C. Kondisi Objektif Paradigma dalam Pendidikan
Pergeseran paradigma pendidikan akibat pengaruh perubahan pola fikir filsafat di atas menunjukkan adanya dua paradigma pendidikan, yaitu paradigma lama dan paradigma baru. Kedua paradigma tersebut memiliki perbedaan karakteristik, baik secara teoritik maupun dalam praksisnya. Paradigma lama yang dipengaruhi oleh pola fikir pada masanya dipahami sebagai penyelenggaraan pendidikan untuk mendewasakan anak didik yang belum dewasa. Peserta didik sebagai objek pendidikan yang harus dilayani pendidik sebagai orang dewasa, baik dari segi tujuan yang harus dicapainya, proses pendidikan yang harus diikutinya, maupun penetapan hasil pendidikan yang diperolehnya.
Park dalam Jonassen (1996: 666) mengungkapkan bahwa pendidikan yang menggunakan paradigma lama dilaksanakan berdasarkan asumsi-asumsi berikut ini: a) pendidik mentransfer pembelajaran secara mudah dengan mempelajari konsep abstrak dan adakalanya konsep yang disampaikan tidak berhubungan dengan konteksnya; b) peserta didik merupakan penerima pengetahuan; c) pembelajaran bersifat behavioristik dan melibatkan penguatan stimulus dan respons; d) peserta didik dalam keadaan kosong yang siap diisi dengan pengetahuan; e) keterampilan dan pengetahuan sangat baik diperoleh dengan terlepas dari konteksnya.
Pendidikan dengan paradigma lama berasumsi bahwa dengan mempelajari konsep-konsep abstrak yang sudah dirumuskan oleh pendidik memudahkan peserta didik untuk memahami dan menerapkannya dalam kehidupan baik dalam waktu yang dekat maupun yang akan datang. Pengertian-pengertian abstrak seperti hukum dan dalil yang disusun dalam rumus-rumus tertentu oleh pendidik dan diajarkannya kepada peserta didik, sehingga diduga mereka mudah memahami dan mengaplikasikannya dalam realitas kehidupannya. Padahal dalam kondisi yang nyata ditemukan adanya kesulitan peserta didik untuk memahami konsep-konsep yang abstrak dan jauh dari realitas kehidupannya yang kurang mendapatkan perhatian dan pemecahan lebih lanjut.
Dengan berpegang pada asumsi bahwa peserta didik sebagai pihak penerima pengetahuan, maka pendidik melaksanakan pembelajaran yang arahannya memberi pengetahuan sebanyak-banyaknya pada siswa. Satu-satunya sumber pengetahuan menurut asumsi ini adalah berasal dari pendidik sesuai dengan bahan-bahan ajar yang menjadi pegangannya. Pendidik banyak menggunakan metode pembelajaran klasikal dan drill, bahkan seringkali hanya memberikan catatan di papan tulis atau rangkuman pelajaran yang difotokopi untuk para peserta didiknya.
Dengan asumsi bahwa peserta didik itu adalah sosok makhluk pasif yang hanya mau belajar apabila ada stimulus, maka para pendidik berupaya memberi sejumlah stimulus agar peserta didiknya memberikan respons-respons dalam kegiatan pembelajarannya. Peserta didik dikatakan belajar manakala ia mampu memberikan respons yang tepat atas suatu stimulus yang diberikan pendidik. Berdasar pada respons-respons peserta didik maka pendidik memberi sejumlah penguatan-penguatan (reinforcements) dan pengayaan (reenrichment).
Asumsi keempat yang menyatakan bahwa peserta didik itu adalah sosok makhluk yang kosong dan siap menerima masukan, mengarahkan para pendidik untuk memberikan sejumlah pengetahuan tanpa mempertimbangkan kesesuaiannya denga pengetahuan awal peserta didik (entry behavior level), dan kurang memperhitungkan kesiapan peserta didik dalam memasuki pengalaman belajar yang baru (apersepsi). Adakalanya pendidik yang memiliki asumsi ini apabila melangsungkan pengajarannya langsung membahas pokok/inti materi tanpa berupaya menggali terlebih dahulu pengetahuan awal siswa atau kurang memperhatikan upaya-upaya penyiapan sebelum sampai pada inti atau pokok pembahasan.
Konteks pembahasan untuk memberikan pengalaman belajar baru adakalanya terlupakan oleh pendidik yang menganut paradigma lama. Perhatian utama adalah difokuskan pada usaha bagaimana supaya peserta didik mampu menguasai sejumlah pengetahuan dan keterampilan. Bahkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan hasil pengalaman belajar diduga kuat sudah dapat diterapkan peserta didik dalam segala konteks. Lebih jauh, pendidik kurang memperhatikan sejumlah keunikan-keunikan dalam setiap konteks yang sedikit banyak berpengaruh terhadap relevansi dari pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik dari pengalaman belajarnya.
Bergesernya ke arah paradigma baru dalam pendidikan diperolehnya beberapa asumsi yang berkembang dalam konsep dan praksis pendidikan, yaitu: a) pendidik akan mengalami kesulitan mentransfer bahan ajar manakala kurang memperhatikan karakteristik peserta didik, bahan ajar, proses dan faktor-faktor yang memiliki keterkaitan dengan proses pembelajaran; b) peserta didik menjadi fokus utama dalam pendidikan dan berfungsi sebagai konstruktor pengetahuan yang aktif; c) bahan ajar bersifat kognitif yang memiliki perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu dan pertumbuhan masyarakat; d) kebutuhan belajar menjadi fokus dan sumber penetapan program kurikulum beserta pembelajaran yang diikuti peserta didik; e) pengalaman belajar yang mengandung pengetahuan dan keterampilan akan lebih tepat manakala disajikan dalam kondisi yang realistik; f) penilaian perlu dilakukan secara realistik dan komprehensif sebagai unjuk kerja peserta didik dalam mengikuti pengalaman belajarnya.
Adanya kesadaran bahwa paradigma baru belajar memiliki asumsi bahwa baik itu belajar mengenai muatan/isi maupun konteks sama-sama diperlukan agar terjadi transfer pembelajaran. Pembelajaran akan sangat dimungkinkan jika ditransfer dari situasi-situasi pembelajaran yang kompleks dan kaya. Oleh karenanya, aktivitas pembelajaran itu harus membantu para siswa untuk berpikir secara mendalam mengenai muatan dalam konteks yang relevan lagi realistik. Peran guru pun berdasarkan asumsi ini tidak mendominasi proses belajar mengajar, malahan sebaliknya siswalah yang harus lebih dominan dan aktif.
Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar tidak lain untuk mengonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas persoalan atau segala sesuatu yang mereka hadapi dalam kegiatan belajar mengajar. Jadi, bisa dikatakan bahwa siswa bukanlah sebatas penerima pengetahuan pasif dari gurunya melainkan sebagai individu yang aktif memproses segala informasi yang ia temukan dari lingkungannya (tidak hanya guru) untuk memperoleh pemahamannya sendiri.
Upaya memproses segala informasi dari lingkungannya itu terarah pada pengembangan/evolusi dan penciptaan struktur kognitif. Kita hendaklah memfokuskan pada proses pemikiran dan penalaran selain dari muatan, serta berupaya untuk membuat kedua proses tersebut menjadi tampak. Kendatipun demikian kita tidak boleh mengabaikan pengajaran materi, dengan hanya mengajarkan pemikiran dan penalaran karena pengetahuan konsep, teori, dan prinsip memberdayakan orang agar berpikir secara efektif.
Agar siswa mau berpikir dan memproses segala informasi yang diperoleh dari lingkungannya maka para siswa/pembelajar itu harus membawa kebutuhan dan pengalaman mereka ke dalam situasi-situasi belajar. Jika mereka merasa butuh dan familier dengan apa yang sudah mereka alami maka situasi pembelajaran yang tercipta tersebut akan mendorong siswa untuk secara aktif menggali dan memproses informasi yang mereka temukan untuk mencapai suatu pemahaman. Para siswa tersebut aktif karena mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri.
Konteks yang realistik sangat membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilannya karena mereka memiliki kesempatan untuk berpraktik dan mempelajari hasil-hasil yang diharapkan. Praktik dan belajar dalam konteks yang realistik itu tidak menyulitkan sehingga materi-materi pembelajaran pun lebih mudah terpahami oleh para siswa.
Para ahli pendidikan semakin lama semakin menyadari bahwa tes prestasi dan intelegensi konvensional tidak mengukur kemampuan orang untuk melakukan performa dalam latar keseharian dan untuk beradaptasi dengan situasi-situasi baru. Oleh karena itu, penilaian siswa itu bentuknya harus lebih realistik dan holistik yang menggunakan proyek dan portofolio serta tidak menekankan penggunaan tes standar.
D. Ekspansi Komunikasi Bermedia dalam Pendidikan
Proses pendidikan terutama proses pendidikan dewasa ini sudah bergeser kepada dominasi peran dari hasil adopsi dari inovasi kajian komunikasi digital atau komunikasi bermedia dengan pemanfaatan teknologi digital. Komunikasi dalam dunia pendidikan yang banyak berlangsung sampai saat ini tidak banyak lagi mengedepankan model komunikasi seperti yang dikembangkan oleh Hovlad, Carold Lasswell (1989), John Dewey (1990), Litle John (1999) Onong Uchayana (1992), yang menitikberatkan pada kajian face to face antara sender (guru) dan receiver (siswa), namun sudah berkembang terbalik di mana trennya sudah mengarah pada pemanfaatan dunia digital.
Proses komunikasi untuk kepentingan layanan pendidikan sudah terbuka secara virtual dalam dunia maya sebagaimana banyak dikenal bentuk e-education, serta berbagai macam inovasi dan adopsi dari produk pemikiran yang berupa elektronik education bahkan elektronik pembelajaran atau e-learning. Bahkan dalam kajian mutu akses dan pemerataan sebagaimana yang diamanatkan dalam renstra pembangunan pendidikan di Indonesia maka layanan ini sudah menghasilkan e-learning bahkan M-learning (Deni Darmawan, 2013).
Inovasi dalam berbagai bentuk apa pun khususnya dalam dunia teknologi informasi dan komunikasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan layanan dan kualitas pendididkan pasti akan bermula dan bermuara dalam kajian Teknologi Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran. Jadi, komunikasi bermedia akan terus menjadi sumber inovasi dalam dunia pendidikan sebagaimana banyak dijelaskan dalam salah satu buku karangan LaRose (2001) tentang "Mozaik Communication". Di mana dalam buku tersebut diungkapkan bahwa media dalam komunikasi memungkinkan untuk jadi awal ekspansi bidang garapan ilmu komunikasi dalam ilmu-ilmu sains lainnya, bahkan dalam ilmu engineering, seni, dan bahasa.
E. Ringkasan
Paradigma adalah suatu keyakinan dari sekelompok masyarakat ilmiah yang diperoleh melalui pencapaian-pencapaian sebagai hasil refleksi/penelitian yang belum ada sebelumnya dan bersifat luas, serta memerlukan artikulasi dan spesifikasi lebih lanjut. Pergeseran paradigma terjadi karena masyarakat ilmiah mendapati sejumlah anomali yang tidak dapat dijelaskan atau ditangani oleh paradigma yang ada, yang kemudian menimbulkan suatu krisis kepercayaan terhadap paradigma tersebut dan beralih pada paradigma lain yang mampu menangani anomali yang muncul tersebut.
Pencapaian-pencapaian yang mendorong terjadinya pergeseran paradigma di antaranya mencakup pencapaian dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial budaya.
Pencapaian-pencapaian tersebut menggeser paradigma lama yang mendasarkan diri pada asumsi bahwa orang akan belajar baik jika mempelajari konsep yang abstrak dan terlepas dari konteksnya; pembelajar merupakan penerima pengetahuan saja; pembelajaran bersifat behavioristik dan melibatkan penguatan stimulus dan respons; pembelajar itu merupakan wadah yang kosong yang siap diisi dengan pengetahuan; dan keterampilan dan pengetahuan sangat baik diperoleh dengan terbebas dari konteksnya.
Paradigma pembelajaran baru sebagai hasil dari pencapaian-pencapaian di atas berpegang pada asumsi-asumsi berikut ini: orang mentransfer pembelajaran dengan kesukaran, yang memerlukan baik itu belajar muatan maupun konteks; pembelajar merupakan konstruktor pengetahuan yang aktif; belajar itu bersifat kognitif dan ada dalam suatu keadaan pertumbuhan dan evolusi yang konstan; pembelajar membawa kebutuhan dan pengalaman mereka sendiri pada situasi-situasi belajar; keterampilan dan pengetahuan diperoleh dengan sangat baik dalam konteks-konteks yang realistik; dan penilaian bentuknya harus lebih realistik dan holistik.
F. Latihan/Tugas
Setelah Anda mempelajari pergeseran paradigma pendidikan secara keseluruhan dan khususnya yang berkenaan dengan aspek perkembangan Teknologi Pendidikan, maka ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan khususnya dalam menambah kemampuan Anda untuk mengonstruksi suatu pendekatan cara berpikir dalam memahami dan menemukan paradigma baru berdasarkan sudut pandang keilmuan yang selama ini Anda miliki. Berdasarkan hal itu maka penulis mengajak Anda untuk mencoba merumuskan suatu model kerangka pemikiran dalam hal mengonstruksi suatu paradigma Anda terhadap pergeseran dan perubahan sistem pendidikan baik itu pendidikan formal maupun nonformal.
G. Kajian Lanjut
Dalam upaya menambah wawasan dan landasan yang kuat untuk mengkaji terjadinya pergeseran paradigma dalam dunia pendidikan, maka ada beberapa upaya yang kiranya bisa dilakukan oleh kita. Khusus dalam memberikan konsep dan pemahaman apa itu pergeseran paradigma dan bagaimana paradigma bisa dikonstruksi, maka diharapkan Anda menelusuri beberapa situs yang menyajikan berbagai paradigma pendidikan dewasa ini.
Hanya 1.800.000 KURSUS POTONG RAMBUT PERTAMA DAN SATU SATUNYA DI DEPOK BOGOR DAN BEKASI JUGA JAKARTA Klik saya untuk langsung WHATSUP Biaya murah hanya 1.800k sudah semuanya Belajar menyenangkan tidak monoton di ruang kelas Ada program bakti sosial bekerjasama dengan panti yatim dan sekolah2 Begitu banyak kelebihan bila anda kursus cukur rambut di tempat kami Gentleman barberschool (GBS) SELAIN BISA SECARA SKIL DAN TEHNIK ANDA JUGA DI BEKALI KEMANTAPAN MENTAL sehingga lulus dari gbs anda sudah tidak ragu dan percaya diri dan berkepribadian barberman Apa yang anda dapat bila kursus cukur di GBS 1- teori cukur rambut yg gampang di pahami (setara teori international) Dengan memahami teori ini anda dengan mudah bisa menterjemahkan video2 turorial cukur rambut di youtub dsb. Dalam materi teori ini anda di bekali kaidah-kaidah cukur rambut pada tiap2 bagian kepala 2- praktek skil cukur langsung ke model manusia Praktek langsung ke model manusia
Komentar
Posting Komentar